Gunung Sumbing (3371 mdpl)

Ketika mendengar Kata Sindoro-Sumbing rasanya sangat tidak asing dengan dongeng dongeng yang sering kita dengar tentang mereka.

Kali ini kita memutuskan untuk bertolak ke Gunung Sumbing. Dan lagi lagi dalang dari perjalanan kali ini adalah Rani. Rani punya mau yang akhir akhir ini selalu punya rencana untuk menghabiskan akhir pekannya di pegunungan. Begitupun dengan saya (hehe)

Kami memulai perjalanan dari Sukun, Semarang menggunakan bus. Rani yang malam sebelum berangkat telah memesan tiket untuk kami semua. Total yang berangkat dari semarang berjumlah 8 orang termasuk saya. Keesokan harinya mereka telah berkumpul di perwakilan bus untuk menanti bus yang akan lepas landas. Namun miris, setibanya disana, tiket yang dipesankan rani buat saya telah dijual kembali oleh kenek bus yang polos. Mau tidak mau saya terpaksa menyusul mereka menggunakan sepeda motor sendirian. Sedih rasanya berkendara sendiri menuju wonosobo. Tak ada teman bercerita dan berkeluh kesah. Sembari menghitung menghitung motor yang saya lewati, akhirnya tampak dari jalan raya sebuah basecamp yang waktu itu sedang ramai. Terlihat sebuah papan bertuliskan Basecamp garung.

Tiba terlebih dahulu membuat saya terlihat seperti pendaki solo. Tak jarang orang orang yang ada disekitar bertanya pada saya “Sendirian mas?”. Saya hanya mengangguk-anggukan kepala yang berarti  iya atau tidak.

Carrier ku lepas kemudian ku sandarkan pada dinding yang kosong. Kemudian ada yang menyapaku dengan malu malu. Mereka adalah sekumpulan Mapala dari fakultas tercinta. Mahapati itulah mereka. Mahasiswa Pecinta Alam Teknologi Industri Unissula. Sejam kemudian sekitar pukul 09.00 akhirnya Rani dan kawan kawan tiba basecamp. Mereka memecah seperti sarang semut yang hancur kemudian semut semut bertebaran tak terarah. Ada yang ke kamar mandi, ada yang duduk tepar, ada yang pesan makanan. Ada juga yang salin berkenalan karena banyak diantara kami belum saling kenal.

Menunggu 2 orang lagi untuk melepaskan diri dari basecamp garung. Sejam dua jam tiga jam kita lewati dengan makan dan berkemas sembari menunggu dua kawan itu tiba. Telepon genggam Rebecca berdering, ada telepon masuk dan ternyata itu dari teman kita. Padang namanya. dia berangkat dari Jakarta bersama Apri. Akhirnya mereka tiba dibasecamp sekitar pukul 17.00 setelah tersesat karena mobil yang ditumpanginya membawa mereka ke basecamp yang salah.

Lengkaplah kami berjumlah 10 orang, satu dari kami melakukan registrasi kelompok. Setelah itu kami berkumpul di depan basecamp untuk berdoa.Tangan kami satukan menjadi satu dibawah tundukan kepala kami semua.  Teriakkan Bismillah mengawali perjalanan kami,

Dari basecamp menuju pos 1 begitu sangat menguras tenaga, tak sedikit pendaki yang menggunakan ojek untuk menuju pos 1. Setelah melewati jalan bebatuan dan kebun kebun selama 2,5 jam akhirnya kita tiba di pos 1 dengan segala ucap syukur ditambah keluh kesah penuh sesal. Dari ujung ku dengar sebuah kalimat penyesalan “Kalau tau jauhnya begini, mending tadi naik ojek” beberapa dari kami tertawa haha. Tak apalah, simpan sesal itu untuk satu hari kalau nanti kita kesini lagi.

suasana kabut sore hari diperjalanan menuju pos 1
Malam mulai menjemput sore, langit sudah gelap. Beberapa dari kami memesan minuman hangat yang tersedia di pos 1. Harganya cukup murah. Dibanding harus turun ke basecamp. Di pos 1 ini juga ada yang mendirikan tenda. Mungkin mereka kelelahan seperti kami dan memutuskan hal itu. Setelah mencicipi minuman hangat tadi, kami kembali melanjutkan perjalanan munuju pos 2.

Hujan turun rintik rintik membasahi bebatuan yang akan kami pijak. Satu persatu jas hujan keluar dari sela sela carrier kami. Kami berjalan berjejer bak pencari lele di ujung kampung kulon lengkap dengan senter di kepalanya. Bila satu dari kami ada yang berhenti, maka kami berhenti semua. Begitulah yang kami lakukan secara berulang ulang hingga perjalana kami terhenti tepat di pertengahan antara pos 2 dan 3. Disitulah kami mendirikan tenda.

Tanah yang miring yang kadang berlubang dan rintik hujan yang makin lama makin sakit rasanya, tidak menyurutkan semangat kami untuk mendirikan tenda di tanah miring itu. Hujan semakin keras, acara pasang tenda pun semakin heboh rasanya. Padang yang kali ini menjadi leader kami seringkali berteriak sana sini memberikan aba aba kepada kami bak kapten kapal memerintah abk nya. Seru sekali rasanya malam itu. Badan yang menggigil seakan menjadi gerakan tari baru yang kita ciptakan sendiri.

Tenda pun terpasang. Walaupun miring tapi tetap kokoh. Kemudian beberapa dari kami ada yang beradu menjadi master chef sebelum tidur. Setelah mengisi lambung yang kosong akibat tanah miring dan rintik hujan yang deras, kami memutuskan untuk beristrahat sebelum melanjutkan perjalan keesokan harinya.

Pada saat pembagian tempat tidur, kami berjejer layaknya ikan yang disusun rapi diatas kayu kemudian dilumuri air dingin. Kami setenda 6 orang. Namun tanah yang miring membuat kita begitu terlipat. Posisiku waktu itu berada di ujung tenda. Ingin rasanya kaki ini ku selonjorkan ke bawah. Namun kalau itu kulakukan, maka kaki ku akan menendang kepala Michael yang ada tepat dibawahku. Serba salah jadinya. Michael yang sesekali berpesan kepada orang yang ada diatasnya untuk tetap menyelonjorkan kakinya diatas perutnya. Namun itu tidak kami lakukan karena khawatir kaki kami bergeser dari perut ke kepala.  Akhirnya malam demi malam kami lalui dengan kaki tertekuk ditanah yang miring kebawah.

Keesokan harinya satu persatu dari kami keluar dari tenda berharap matahari pagi menghangatkan kami. Sulit rasanya badan ini digerakan karena posisi tidur yang agak kurang nyaman. Namun itu hal biasa ketika kita berada di belantaran hutan nan jauh dari peradaban. Saya pun keluar dari tenda dengan posisi tangan kiri memegang leher bagian belakang, tangan kanan memegang tulang belakang, sedang kepalaku kupatahkan ke kiri dan kanan. Setelah sarapan kami bersiap siap untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak, yang berarti summit puncak kali ini dimulai dari Pos 2,5. 

Lokasi tanah miring berada diantara pos 2 dan 3, jadi saya menyebutnya pos 2,5
Summit kali ini dipimpin oleh Apri, kawan kita dari Jakarta, orangnya baik, cakep dan humoris. Apri dengan langkah kaki nya tak kenal lelah membuat dia jauh memimpin didepan bak Lorenzo membuang rossi. Apri sebagai Lorenzo, menyusul Gita sebagai Rossi, saya dan Rani sebagai Marquez, menyusul dibelakang 6 teman lainnya. Tanjakan demi tanjakan kami habiskan satu persatu.
Para Pendaki yang diselimuti kabut
Namun langkah kaki kita yang terlalu mengidolakan moto gp membuat kita terpisah menjadi dua kelompok. Apri Gita Rani dan saya berada jauh didepan. Sedang Padang, Becca, Punia, Daris, Michael, Igar di belakang. Sedih rasanya, namun kami tetap harus melanjutkan perjalanan. Namun kali ini ritme langkah kaki, kami kurangi sembari menunggu yang ada dibelakang. Pada waktu itu saya bertemu dengan seorang kakek yang mendaki bersama anaknya. Sedikit dia bercerita tentang perjalanannya kemudian saya ijin mengambil potret dirinya. 

kakek pendaki asal bandung yang saya temui di tanjakan

Di tanjakan penyesalan kami sempat berkumpul kembali selama beberapa saat. Namun naluri moto gp kembali merasuki 3 podium teratas, Apri, Gita, Rani. Dan saya harus mengejar mereka untuk mempertahankan nilai sementara yang saya raih sembari mengingatkan untuk menunggu teman yang ada dibelakang. 


team kesayangan bersama teman baru lainnya
Tibalah kami di Pestan. Pos yang selama ini para pendaki idam idamkan ketika mereka ke Sumbing. Pestan yang selama ini menjadi buah bibir pendaki pendaki diwarung kopi pinggir kota. Walaupun saya tak tau menau tentang pos ini dan pos itu. Bagiku semuanya yang ada disini itu indah. Ditambah lagi pendaki pendaki jaman sekarang juga banyak yang indah indah. 



tampak gunung sindoro dari pestan
pestan yang penuh dengan pendaki
Dari Pestan kami menuju pasar watu melewati jalan bebatuan menukik yang cukup menguras tenaga. Satu dua buah kalimat keluh masing masing kami ucapkan untuk menghiasi perjalanan kami. Belum sempat kalimat keluh ke tiga keluar, kami pun tiba di Pasar Watu. Tak berlama lama, kami duduk sejenak kemudian melanjutkan perjalanan ke Watu Kotak, yaitu pos sebelum puncak buntu.


Apri sedang menaiki podium
Para pendaki yang sedang menuju pestan dari puncak
Watu kotak, entah apa artinya. Pantang bagi seorang seperti saya untuk membaca tentang pos pos yang ada di gunung yang akan saya daki. Karena itu akan menjadi pengalaman berbeda apabila saya belum mengetahuinya. Saya percaya bahwa tiap orang memiliki cerita yang berbeda beda walaupun gunung yang kita daki tidak jauh berbeda.


Pasar watu yang dipenuhi watu watu
Aksi percobaan bunuh diri dari Rani
Adegan melankolis cinta segitiga Apri, Gita, Rani
Apri ketika sendiri selalu teringat sang mantan
Melewati bebatuan yang menjadi batas jurang, melewati bebatuan yang makin lama makin aneh bentuknya, makin besar pula genggaman batu itu. Sedih rasanya kalau harus berjalan sambil mencium lutut ini. Sempat terbanyangkan jika ada helicopter yang datang menjemput kita lalu mengantar kita ke puncak. Namun kembali tersadarkan oleh pendirian seorang pendaki jaman dulu bahwa yang terpenting adalah proses. Dan hasil takkan menghianati proses. Sesingkat itu namun memiliki arti yang sangat dalam dan terukir dipikiran saya hingga saat ini. 

Samudera awan menyelimuti gunung sindoro
Bermimpi tentang sesuatu yang tidak mungkin kadang mampu membawa kita untuk mencapai sesuatu yang tidak mungkin. Maka tibalah kami di Puncak Buntu.

Rasanya kurang afdol karena tidak semua dari kami bisa sampai ke puncak. Hanya ada Apri, Gita, Rani dan saya sendiri. Dalam hati, kekhawatiranku tak karuan mengguncangkan konsentrasiku untuk mengabadikan momen di puncak waktu itu. Tak lama kemudian kami turun ke bawah untuk menyusul yang lainnnya.


Empat yang berhasil naik ke podium puncak buntu
Diperjalanan dari puncak ke pestan kami bertemu Padang dengan beberapa senter dan headlamp ditangannya. Tentu saja itu buat kita. Mengingat langit sudah gelap. Padang yang sangat berbaik hati membawakan kami senter dan headlamp karena takut sesuatu terjadi pada kita. Sementara yang lainnya menunggu di pasar watu sembari padang membawakan kami senter dan headlamp.

Adzan maghrib berkumandang menandakan maghrib tiba. Kami singgah sebentar untuk menyapa pendaki yang mendirikan tenda disekitar watu kotak. Sebatang dua batang mereka habiskan sembari menunggu maghrib usai. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju pasar watu.

Kekhawatiran kembali menghampiri kala kami tiba di pasar watu dan mendapatkan 5 orang yang seharusnya berada disitu sudah tidak ada. Yang tersisa hanya selembar kertas bertuliskan “happy birthday sayang” itu milik daris. Tandanya Daris dan kawan kawan belum jauh dari sini.

Kami mempercepat langkah kami mulai dari pasar watu menuju pestan. Walaupun gelap, batu pun tak bisa menghalangi kami. Dia menghadang, kami pun tendang, walaupun beberapa dari kami sering jatuh, namun teriakkan “semangat” selalu berhasil memulihkan semangat kami.

Alhamdulillah, beberapa ratus meter sebelum pestan kami teriak menyebut nama daris dan dari kejauhan terdengar teriakan ramai. Itu adalah mereka, daris dan kawan kawan. Kami pun teriak senang, karena akhirnya kami bisa dipersatukan lagi lengkap ber10. Malam itu rembulan menemani kisah romantisme 10 anak muda yang mendaki gunung sumbing pada hari itu. Sisa sisa makanan kami kumpulkan menjadi satu. Kami habiskan malam bersama di pestan lalu berkemas di pos 2,5. Dan keesokan harinya kami turun ke basecamp.


Rembulan bersinar lagi menemani malam kami yang melankolis waktu itu
Kami tiba dibasecamp dengan wajah gagah kelelahan penuh cerita dikerutan bawah mata kami. Berpuluh puluh senyum dan monggo kami tebarkan kepada para pendaki yang ada dibasecamp pada saat itu. Satu persatu piring dengan nasi telur kecap berjejer rapi di hadapan kami. Kami menyantapnya. Seketika itupun kami tidak peduli dengan apa yang ada disekitar. Karena rasa lapar sudah terlalu menguasai diri ini.

Terima kasih atas perjalanan yang sangat mengesankan. Tanpa kalian hidup ini tidak ada artinya. Tanpa saya pun hidup kalian tidak ada artinya. Kita saling memiliki satu sama lain. Aku ada karena kau ada. See you next mount. 


The Team


4 komentar:

 

Words

Saya tidak pernah meminta dipertemukan denganmu, begitupun kamu. Alam lah yang mempertemukan kita (Muhammad Fadelillah, 21 tahun)

About

Kenangan bisa mati, namun tulisan akan selalu membekas di hati. Menulislah sejak dini. Apa yang kau tulis sejak dini pasti jadi (Pramoedya Ananta Toer)